Fikih Puasa (10): Amalan Itikaf
Di antara yang disunnahkan di bulan Ramadhan adalah melakukan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan tujuan supaya bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Berikut keterangan Al Qodhi Abu Syuja’ mengenai i’tikaf.
Kata Abu Syuja’ rahimahullah, “I’tikaf itu sunnah yang dianjurkan. Namun disebut i’tikaf jika memenuhi dua syarat yaitu (1) berniat, (2) berdiam di masjid.
Tidak boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau ada udzur semisal haidh atau sakit yang tidak mungkin berdiam di masjid.
I’tikaf itu batal dengan berhubungan intim (bersenggama).”
Pengertian I’tikaf
I’tikaf berarti tetap atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah berarti berdiam di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat khusus. (Lihat Al Iqna’, 1: 424).
Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf adalah sunnah muakkad dan dianjurkan dilakukan di setiap waktu di Ramadhan atau selain Ramadhan. Namun di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari hari lainnya karena dicarinya lailatul qadar pada malam tersebut. Lailatul qadar hendaklah dihidupkan dengan shalat, membaca Al Qur’an, dan memperbanyak do’a karena malam tersebut adalah malam yang utama dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ” (QS. Al Qadar: 3).
Maksudnya adalah amalan pada malam lailatul qadar lebih baik adari amalan di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. Sebagaimana kata Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, malam ini diperoleh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lihat pembahasan dalam Al Iqna’, 1: 424-425.
Syarat I’tikaf
Syarat i’tikaf sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ ada dua:
1- Niat
Niat cukup dalam hati sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat jika i’tikafnya wajib seperti berniat i’tikaf nadzar. Niat ini supaya bisa membedakan dengan niatan nadzar sunnah. Jika i’tikafnya mutlak, yaitu tidak dibatasi waktu tertentu, maka cukup diniatkan.
2- Berdiam
Yang dimaksud di sini adalah i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu yang dikatakan thuma’ninah dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama.
Ditambahkan oleh Muhammad Al Khotib dalam Al Iqna’ yaitu syarat ketiga dan keempat.
3- Berdiam di masjid
Hal ini berdasarkan ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun ayat adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Masjid jami’ yang ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya lebih utama daripada masjid lainnya supaya yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid lainnya. Akan tetapi, jika seseorang sudah berniat i’tikaf di Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsho, maka tidak bisa diganti dengan masjid lainnya karena keutamaan besar dari masjid tersebut.
4- Syarat yang berkaitan dengan orang yang beri’tikaf yaitu Islam, berakal, suci dari hadits besar
Tidak Keluar dari Masjid Selama I’tikaf
Yang menjalani i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, atau i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu. Hanya boleh keluar dari masjid jika ada kebutuhan mendesak seperti kencing, buang hajat, dan keperluan lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Di antara udzur lagi adalah karena haidh -menurut ulama yang tidak membolehkan wanita haidh diam di masjid- dan orang yang sakit yang juga tidak bisa berdiam di masjid.
Pembatal I’tikaf
Yang membatalkan i’tikaf adalah dengan bersenggama atau bersetubuh. Dalilnya adalah ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
I’tikafnya jadi batal jika dilakukan dalam keadaan tahu dan ingat sedang beri’tikaf baik dilakukan di dalam atau di luar masjid. Adapun bercumbu (mubasyaroh) selain di kemaluan seperti saling menyentuh dan mencium bisa membatalkan i’tikaf jika keluar mani. Lihat Al Iqna’, 1: 427-428.
Selesai sudah kajian fikih dari kitab Matan Abi Syuja’. Semoga bermanfaat untuk amalan kita di bulan Ramadhan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
- Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428
- At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
- Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
- Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, Senin malam, 22 Sya’ban 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Perbedaan Hadits Qudsi Dan Alquran, Lafaz Ijab Qabul Zakat Fitrah, Cara Adzan Subuh, Hadits Tentang Jumlah Malaikat
Artikel asli: https://muslim.or.id/17157-fikih-puasa-10-amalan-itikaf.html